Thursday, March 29, 2018

Backpacker Nyeleneh
        
      Salah satu mantan menteri BUMN mengaku sampai harus pedicure untuk mencari inspirasi dalam tulisannya. hal ini cukup 'melecutku' untuk menuangkan sisa-sisa memori berharga dalam pikiranku. terlebih kenangan-kenangan itu kudapatkan di belahan dunia yang jauh di benua Afrika. banyak sekali kejadian yang menurutku menarik dan perlu aku tuangkan dalam sebuah tulisan.
Musim dingin medio 2007-2008 (aku tak mampu mengingat secara pasti karena sudah 10 tahun berlalu), tapi aku masih ingat dengan ide 'nyeleneh' untuk backpacker ke Alexandria, salah satu kota idaman para wisatawan asing yang berlibur ke Mesir. tidak terkecuali kami mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di sana.
      Banyak alasan yang membuatku berfikir bahwa ide backpacker saat itu adalah 'nyeleneh'. kenapa harus ke Alexandria? padahal kota ini sudah pernah kami kunjungi bersama kawan-kawan dari Gamajatim (Gabungan/Keluarga Masyarakat Jawa Timur). Sekedar informasi, kebanyakan Kelompok Mahasiswa Indonesia di Mesir menjadikan Alexandria sebagai menu wajib dalam Rihlah (rekreasi) pada liburan semester ganjil, karena di sana terdapat perpustakaan yang sangat besar. jika ingatanku tidak meleset, perpustakaan tersebut memliki tiga lantai. keindahan dan keunikan gaya arsitekturnya semakin menambah daya tariknya. belum lagi letaknya yang sangat strategis di samping jalan utama dan berseberangan langsung dengan laut Mediterania.
Alhamdulillah, aku teringat bahwa salah satu alasan kami 'backpacker nyeleneh' adalah karena aku belum pernah melihat keindahan Alexandria di malam hari. wajar saja karena saat ikut rihlah bersama biasanya mereka kembali ke Kairo menjelang petang hari.
    Petualangan backpacker ini kujalani dengan salah satu teman serumah. dengan berbekal tas selempang merah jadul dan jaket hitam bercorak hijau, serta sepatu fila biru yang sudah 'mangap' ujung depannya, aku dan temanku berangkat menuju stasiun kereta yang biasa disebut Ramses. dari tempat tinggal kami di distrik 10 Nasr city, kita bisa menggunakan bis mini maupun angkot putih fenomenal yang biasa disebut tramco. waktu itu tarif yang saya ingat adalah 1 pound Mesir. dari stasiun Ramses kami naik kereta menuju Alexandria dengan jarak tempuh sekitar 2 jam 30 menit. kusebut fenomenal karena tramco tidak pernah lepas dari keseharian Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir), Jenis transportasi yang terjangkau dari segi biaya dan jurusan, ditambah lagi seringkali memutar lagu daerah khas sopir tramco; el-Enab el-balah.
    Sesampainya di Alexandria kami berusaha mencari penginapan kelas bawah, karena budget menginap kami tidak lebih dari 50 pound (wow tipis banget kantongnya bos), seingatku kurs pound saat itu berkisar antara 1500 sampai 2000 rupiah. dan sungguh beruntung ternyata ada salah satu penginapan yang memberikan tarif di bawah 50 pound untuk dua orang. cukup disayangkan, meskipun penginapannya tergolong murah-meriah, layak huni dan mudah dijangkau, kami putuskan untuk tidak menginap di sana karena mereka mensyaratkan 'penyanderaan' paspor kami selama kami menginap. hmmm, sorry mas bro, klo kita turuti syarat mereka bisa-bisa kita semalaman ga bisa tidur mikirin paspor kwkwkw.
    Karena rata- rata mensyaratkan penyitaan paspor, akhirnya kami urungkan niat untuk mencari penginapan dan segera menuju salah satu benteng terkenal dengan sebutan qaitbay castle. Arsitektur benteng ini cukup menakjubkan (paling tidak menurutku) karena terletak di pinggir laut mediterania dan ketika angin laut bertiup, hampir setiap lorong di dalamnya merasakan derasnya hembusannya. Wusshh... Segar dan menghanyutkan seperti berteduh di bawah pohon besar dengan semburan angin dari padang ilalang. Dari salah satu jendela benteng itu kami terkagum-kagum melihat puluhan perahu layar putih berbaris rapi beralaskan ombak laut dan beratapkan birunya langit berbaur awan-awan kecil yang putih nan cerah.
    Menjelang sore kami menuju ke taman muntazah yang rindang dengan pepohonan tinggi menjulang. Padang Rumput yang tumbuh segar, hijau dan tebal membuatku tak sabar untuk Langsung duduk lesehan dan menjulurkan kedua kaki dan meluruskan kedua tangan. Taman muntazah merupakan pilihan yang tepat untuk bersantai melepas lelah. Rombongan tour mahasiswa biasanya menjadikan tempat ini sebagai persinggahan terakhir sebelum kembali ke Kairo. Mereka menyantap nasi kotak yang menjadi bekal terakhir dalam tour itu. Yang membuat taman ini menjadi lebih istimewa adalah adanya bangunan istana di dalamnya dan berbatasan dengan pantai indah di penghujungnya.
     Saat backpacker nyeleneh itu aku memaksakan diri berfoto di pinggir pantai dengan latar belakang air laut yang sudah tak terlihat. Wajar saja karena hari sudah gelap dan tak ada cahaya lampu di sekitar hehehe. Akhirnya kami menuju ke mushalla yang berada di area muntaza. Dinginnya air wudlu membuatku lebih fresh dan menambah semangat untuk melanjutkan petualangan di Alexandria. Selesai solat aku mencoba membaringkan badan di atas karpet hijau yang warnanya sudah mulai pudar. Meskipun sedikit bau asam kaos kaki, sebagaimana umumnya bau musholla di Mesir, aku tak mempedulikannya karena kaki dan punggungku terasa penat dan pegal. Kami sempat berencana untuk menginap di musholla ini tapi ternyata hawa dinginnya berhasil mematahkan semangat kami. Meskipun kami sudah mencoba menyelip-nyelipkan kaki dalam gulungan karpet di samping tembok, tetap saja kami tak bisa terlelap karena tak mampu menahan hawa dingin.
        Setelah memutuskan tidak menginap di Alexandria, kami beranjak menuju salah satu warung makan berkelas. Yes! Akhirnya kami berani menginjakkan kaki di warung makan yang berkelas, meskipun lagi-lagi kelasnya masih menengah ke bawah 😀. Aku memesan satu porsi makanan favoritku, yaitu nasi goreng ala Mesir yang biasa disebut ruz bil bashol (nasi campur bawang). Klo mau jujur makanan ini menjadi favorit bukan karena rasa di lidah tapi lebih kepada rasa di dompet atau kantong. Dengan harga 3 pound per porsi, makanan ini cukup ekonomis jika kita ingin menyantap nasi dengan rasa yang tidak jauh dari lidah Indonesia. Coba bandingkan dengan nasi mandi/bukhari ala yaman yang berkisar antara 15-20 pound setiap porsinya. Atau masakan padang ala mahasiswa Kairo yang dibanderol kisaran 10 pound, tentu ruz bilbashol masih jauh lebih ekonomis. 
       Ruz bilbashol lebih mirip dengan nasi goreng dengan bumbu minimalis ala nasi goreng rumahan sisa nasi semalam. Daya tariknya adalah aroma bawang goreng yg disajikan terpisah di cawan kecil berbahan stainless, persis di sebelah "seciduk" sholshoh (tomat yang dihaluskan) yang baru saja disiramkan di atas semangkok nasi. Di meja makan yang berlapis marmer tersaji sebotol kuah bawang putih,cabe bubuk kering dan satu teko stainless berisikan air mentah dingin. Jangan ditanya betapa segarnya air nil mentah yang sudah didinginkan itu, Apalagi dipadukan dengan aroma yang keluar dari gelas stainlessnya, Hmmm suegerrrr...
    Seremeh-remehnya perjalanan, 'senyeleneh-nyelenehnya' backpacker tetap perlu bekal dan persiapan, Apalagi perjalanan terberat menuju akhirat. "Maka persiapkanlah bekal, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah ketakwaan" (Albaqarah: 197)

Barabai, 27-28 Maret 2018

No comments: