Sunday, July 02, 2006

Ruba’i farkhah (Seperempat ekor ayam bakar)

Lewat tengah malam perutku terasa lapar, badan menggigil gemetaran dan hampir tidak tersisa lagi tenaga untuk berjalan. Kucoba memeriksa isi kulkas, meja dan rak di dapur. Aku hanya menemukan beberapa genggam beras dan bumbu-bumbu masak. Tidak ada bahan yang pantas diolah untuk jadi lauk pendamping beras, walau nantinya aku matangkan jadi nasi.
Segera kukenakan celana panjang warna hitam dan menaruh kunci di kantong sebelah kanan bersama beberapa lembar mata uang Mesir. Kupakai sandal eiger yang sudah menipis dan terlihat janggal dengan porak-porandanya benang jahitan. Kuturuni tangga imarah (apartemen) dengan lampu penerang yang sedikit lebih terang dari lampu minyak milik tukang bakso di kampungku dulu.
Jalanan terlihat sepi ketika aku melangkahkan kaki menuju warung makanan. Tidak ada lagi hingar-bingar penggemar sepakbola. Sepertinya mereka terlelap menimbun kesedihan karena tim kesayangannya belum beruntung. Mungkin juga mereka kelelahan dengan pesta-pora merayakan kemenangan tim yang mereka dukung. Hanya tiga orang, satu jalan kaki dan dua lainnya duduk di dalam mobil sambil menghisap batang putih dengan bara merah menyala. Aku juga tidak yakin kalau itu batang rokok.
Aku sudah duduk di salah satu warung satu jam menjelang waktu subuh. Sang penyaji menawariku beberapa masakan… “ruba’i farkhah bikam?” (1) aku harus tahu harga lebih dulu, sudah seminggu aku memakai uang pinjaman. “bi khamsah gunaih.”(2) Jawab pelayan itu.
Ponselku berdering sebelum pelayan itu datang membawa makanan pesananku. Kakak kandungku menanyakan keadaanku setelah tim sepakbola kesayanganku tersingkir dari tuan rumah melalui lotre adu pinalti. Sms kakakku jauh lebih bijak dibanding sms yang datang dari temanku di tanah air, beberapa menit usai pertandingan. Kata-kata pedasnya semakin menambah kekecewaanku. Sepertinya temanku yang satu ini perlu belajar menghormati tim yang kalah. Tidak sekadar pandai memuji tim yang sedang beruntung. Dalam sepakbola—drama adu pinalti—sering membuat tim yang kalah, juga pendukungnya, merasa sakit hati cukup dalam. Tidak mengherankan jika akhirnya mereka gampang terprovokasi untuk berbuat anarki. Dari sinilah kita perlu belajar menghibur tim yang kalah dan menghargainya, tanpa menafikan ucapan selamat kepada pemenang.
Sepakbola mempunyai ‘limu pelet’ yang cukup sakti. Kita rela menahan kantuk, membiarkan perut lapar, merelakan banyak waktu kita demi menyaksikan laga tim kesayangan. Tanpa mengharap ‘percikan’ hadiah jika menang, dan ‘tak perlu meminta santunan walau harus kecewa dengan kekalahan. Kita juga nggak mau tahu apakah tim yang kita dukung itu ada hubungan darah, keluarga, agama atau kebangsaan dengan kita. Tipe pendukung seperti ini jauh lebih banyak dibandingkan pendukung dengan alasan memiliki hubungan darah, kebangsaan atau hubungan yang lain. Lagi-lagi hati selalu lebih berkuasa daripada akal sehat. Hati yang jatuh cinta dengan salah satu tim, akan mengalahkan akal sehat yang menolak hasrat untuk menyaksikan dan mendukung tim tersebut.
Dewasa ini sepakbola sudah bukan lagi sekadar olahraga. Sepakbola sudah pantas disebut ‘virus cinta dan permusuhan’. Virus cintanya membius seluruh organ-organ manusia—terutama hati—untuk menggandrungi salah satu tim dan memberikan loyalitasnya—minimal setia menonton di televisi. Virus permusuhannya sering menimbulkan perkelahian antar pemain, official, tawuran antar supporter dan kejadian-kejadian merugikan yang lain.
Aku belum selesai mengetik sms balasan untuk kakak-ku saat pelayan warung menyuguhkan seperempat ekor ayam bakar, diatas piring aluminium bertabur irisan seledri, dibawah dua lembar roti gandum yang ditumpuk. Piring yang lain melindungi acar Mesir: irisan tomat, timun, bawang merah dalam rendaman air cuka. Satu mangkok terisi garam halus dan cabe bubuk. Saat kusentuh, panas lemak ayam bakar cukup membuat ujung jariku kesakitan.
Tulang-tulang yang aku sisakan untuk dua ekor kucing di sebelah kiri kursi tempatku makan, direbutkan oleh anjing-anjing malam yang kelaparan. Aku berpikir, “sepertinya mirip dengan serdadu-serdadu Israel ketika berebut makanan dengan bocah-bocah palestina”.

_______________________________________
1. berapa harga seperempat potong ayam bakar?
2. lima gunaih (lima pound Mesir) sebanding dengan rp 8500

1 comment:

elfenan said...

tulisan yang jujur....